“Pemilihan Ketua Umum PERADI lewat e-voting menjadi terobosan dalam praktik demokrasi organisasi advokat di Indonesia. Model pemilihan langsung ini menegaskan pentingnya partisipasi anggota, menjamin keterbukaan, serta menghapus jarak antara pimpinan dan anggota.”
Ruang-ruang diskusi advokat mulai riuh. Dari kafe di Semarang, ruang rapat di Makassar, hingga obrolan daring di grup WhatsApp para advokat, satu topik jadi perbincangan: pemilihan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional PERADI. Bukan sekadar soal siapa yang kelak menduduki kursi pucuk pimpinan, melainkan bagaimana cara memilihnya.
Dalam tradisi organisasi, cara memilih pemimpin sering kali sama pentingnya dengan siapa yang akhirnya terpilih. Dua model yang kerap diperdebatkan adalah pemilihan langsung oleh anggota dan pemilihan melalui perwakilan. Di permukaan, keduanya tampak hanya berbeda teknis. Namun, sejatinya perbedaan ini menyentuh urat nadi demokrasi: sejauh mana suara anggota didengar secara utuh, atau disaring melalui tangan-tangan delegasi.
Pemilihan Langsung: Satu Anggota, Satu Suara
Pemilihan langsung memegang teguh prinsip one member, one vote. Setiap anggota punya hak yang sama untuk menentukan arah organisasi. Transparansi menjadi lebih nyata karena hasil akhir adalah cerminan pilihan kolektif. Ketua umum pun tak bisa bersembunyi di balik kata sakti perwakilan; ia bertanggung jawab langsung kepada seluruh anggota.
Tapi, demokrasi murni ini datang dengan tantangan yang lebih kompleks. Logistik menjadi lebih rumit, dan teknologi yang digunakan juga harus mumpuni. Bagi organisasi dengan ribuan anggota seperti PERADI, tantangan ini nyata.
Delegasi sebagai Penyaring
Di sisi lain, sistem perwakilan—atau delegate voting—lebih ringkas dan praktis. Anggota menyerahkan mandatnya kepada delegasi yang dinilai lebih paham dan berpengalaman. Keputusan bisa diambil cepat, dengan diskusi yang lebih matang di lingkaran sempit.
Namun, risiko mengintai. Delegasi tidak selalu merefleksikan aspirasi anggota di akar rumput. Ruang kompromi politik terbuka lebar, dan legitimasi kepemimpinan bisa dipertanyakan. Dalam banyak kasus, suara anggota tereduksi menjadi angka dalam perhitungan elite.
Praktik di Dunia
Kamboja, Jepang, dan sebagian asosiasi advokat di Amerika Serikat memilih jalur langsung: semua anggota menyalurkan suaranya lewat kotak suara atau sistem elektronik. Sebaliknya, negara-negara Eropa seperti Inggris, Spanyol, Belanda, dan Austria masih mengandalkan mekanisme perwakilan. Dua model ini memperlihatkan dilema klasik: apakah organisasi ingin menekankan partisipasi langsung, atau mengutamakan efisiensi dan representasi terbatas.
Jembatan Menuju Demokrasi PERADI
Perbandingan ini memperlihatkan garis besar: pemilihan langsung memberi legitimasi lebih kuat, sementara sistem delegasi lebih praktis. Di sinilah PERADI mengambil sikap untuk melakukan lompatan paradigma.
Dengan “satu anggota, satu suara”, kepemimpinan PERADI lima tahun ke depan lahir dari mandat penuh seluruh anggotanya. Demokrasi di PERADI akhirnya menemukan wujud paling transparan: keterlibatan langsung anggotanya sendiri.
Refleksi ke Depan
Namun perjalanan tidak berhenti di sini. Sistem pemilihan langsung akan diuji bukan hanya oleh angka partisipasi, tetapi juga oleh kepercayaan anggota terhadap proses yang berlangsung. Transparansi teknis, kesiapan infrastruktur, hingga kedewasaan politik para advokat akan menjadi penentu. Jika berhasil, model ini bisa menjadi preseden baru bagi organisasi profesi lain di Indonesia. Bila gagal, ia bisa menimbulkan skeptisisme baru terhadap demokrasi internal.
Sejarah akan mencatat Munas IV PERADI bukan hanya sebagai ajang memilih pemimpin, tetapi sebagai laboratorium demokrasi yang sedang diuji oleh para advokat di PERADI
Anggara Suwahju, NIA 07.11099, DPC Jakarta Selatan